Penggunaan panas
dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan sangat berpengaruh pada bahan
pangan. Dalam pengolahan bahan pangan, penggunaan panas seringkali dilakukan
dengan tujuan untuk menambah citarasa dan memperpanjang daya simpan produk
pangan tersebut. Di dalam kehidupan
sehari-hari jenis proses termal yang biasa dilakukan adalah penggorengan,
perebusan, pengukusan, dan pemanggangan.
Di tingkat industri, kita mengenal beberapa jenis pengolahan pangan
dengan menggunakan panas seperti blansir, pasteurisasi dan sterilisasi dengan
maksud agar bahan makanan dapat lebih awet disimpan. Pada umumnya semakin
tinggi jumlah panas yang diberikan semakin banyak mikroba yang mati.
Tetapi penggunaan
panas pada pengolahan bahan pangan juga dapat mempengaruhi nilai gizi bahan
pangan tersebut, termasuk zat gizi mikro (vitamin dan mineral). Umumnya vitamin-vitamin (khususnya vitamin
larut air) dan mineral tidak stabil terhadap panas. Beberapa jenis bahan pangan
seperti halnya susu dan kapri serta daging, sangat peka terhadap suhu tinggi
karena dapat merusak warna maupun rasanya.
Penggorengan merupakan salah satu jenis pengolahan pangan dengan
menggunakan panas. Suhu yang digunakan
biasanya adalah 160oC, sehingga dapat merusak vitamin dan
mineral. Kandungan ß-karoten
(pro-vitamin A) minyak sawit merah (minyak goreng) juga mengalami penurunan
selama proses pemanasan (penggorengan).
Hal ini tergantung dari suhu yang digunakan. Hasil penelitian melaporkan bahwa pemanasan
minyak sawit merah pada suhu 150 0C mampu mempertahankan kandungan ß-karoten
yang lebih baik dibandingkan suhu yang lebih tinggi (160, 170 dan 180 0C). Penurunan kandungan vitamin yang terjadi pada
pemanasan minyak goreng disebabkan terjadinya reaksi oksidasi minyak dan
degradasi asam lemak akibat suhu pemanasan yang tinggi dan lama pemanasan.
Pengukusan dan
perebusan adalah metode konvensional lainnya yang telah lama dikenal untuk
memasak. Pada proses perebusan dapat menurunkan nilai gizi suatu bahan makanan
lebih banyak dibandingkan dengan pengukusan. Bahan makanan yang langsung terkena air rebusan
akan menurunkan nilai gizinya terutama vitamin-vitamin larut air (B kompleks
dan C), sedangkan vitamin larut lemak (ADEK) kurang terpengaruh.
Pemanggangan juga
bisa menyebabkan kerusakan zat gizi. Kerusakan zat gizi dalam bahan makanan
yang dipanggang umumnya terkait dengan suhu yang digunakan dan lamanya
pemanggangan. Pada roti misalnya, tidak ada susut gizi yang
berarti dalam tahap pencampuran adonan, fermentasi, maupun pencetakan. Tetapi pada proses pemanggangan cukup banyak
zat gizi yang mengalami kerusakan sehingga menurunkan nilai gizi. Pemanggangan roti sampai kulitnya berwarna
coklat akan menurunkan kadar tiamin 17 - 22%. Roti tawar akan kehilangan tiamin
(vitamin B1) lebih sedikit dibandingkan roti berukuran kecil. Riboflavin
(vitamin B2) dan niasin (asam nikotinat) relatif stabil dalam proses
pemanggangan. Dilaporkan, susut niasin hanya kurang dari 5%, sementara
riboflavin sedikit sekali yang hilang. Hanya saja, dalam proses penggorengan
donat dengan minyak, susut riboflavin bisa mencapai 23%.
Blansir
adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam proses
pengalengan buah dan sayuran dengan tujuan untuk memperbaiki mutunya sebelum
dikenai proses lanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses blansir dapat
menurunkan nilai gizi suatu produk pangan terutama vitamin, mineral, dan
komponen-komponen yang larut air lainnya.
Besarnya kerusakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1) Varietas,
2) Tingkat kemasakan/kematangan, 3) Metode penanganan (terutama tingkat pemotongan,
pengirisan, dan lain-lain, yang mempengaruhi rasio luas permukaan/ volume
bahan), 4) Penggunaan medium pemanas dan pendingin, 5) Lama dan suhu pemanasan,
dan 6) Rasio air/bahan yang diblansir (terutama jika digunakan air sebagai
medium pemanas atau pun pendingin). Pengaruh penggunaan metode blansir terhadap
kandungan vitamin C pada beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1.
Selain vitamin C, pengolahan pangan dengan menggunakan panas juga dapat
menurunkan vitamin larut air lainnya (vitamin B) tergantung pada metode dan
suhu yang digunakan. Kandungan vitamin
larut air pada produk susu yang mengalami proses pengolahan dengan panas dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Pengaruh
penggunaan metode blansir terhadap kandungan vitamin C
Sumber : Cumming et al. (1984)
Tabel 2. Kandungan vitamin larut air pada susu
Sumber : Saleh
(2004)
Kehilangan atau susut zat gizi mikro pada bahan pangan pada saat penggunaan
panas dapat diminimalkan dengan cara membuat kondisi asam. Zat-zat gizi mikro akan lebih stabil pada kondisi asam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vitamin C
pada sari buah murbei lebih stabil selama
penyimpanan karena kondisi pH yang rendah walaupun mengalami proses
pasteurisasi pada suhu 80 0C selama 10 menit.
Contoh lainnya adalah pada produk minuman susu. Hampir semua produk yang telah dipasteurisasi
mempunyai pH rendah (asam). Produk makanan yang tidak tahan panas umumnya
stabil dalam kondisi asam, dengan demikian kondisi asam ini akan mencegah susut
gizi yang mungkin terjadi. Susu
yang dipasteurisasi akan kehilangan tiamin 10%, vitamin C 10 - 20%, dan vitamin
B12 0 - 10%.
Proses termal pada pengolahan pangan juga akan berpengaruh pada penyerapan
zat gizi dalam tubuh. Banyak faktor yang
mempengaruhi penyerapan zat gizi mikro (terutama mineral) di dalam tubuh. Sebagai contoh, adanya serat dan zat anti
gizi (asam fitat, dan lain-lain) dapat menghambat penyerapan zat besi, kalsium,
dan lain-lain. Proses pemanasan dapat
mendegradasi heme sehingga bioavailabilitas heme iron akan
menjadi rendah. Semakin lama proses pemanasan akan
menyebabkan solubiliti zat besi semakin rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perebusan yang dikombinasikan
dengan kondisi asam dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hanya saja faktor lama perebusan juga perlu
diperhatikan.